"Menulis Blog = Menyimpan Ilmu"

Sabtu, 02 Desember 2017

Takbiratul ihram, Membaca Do'a Iftitah dan Membaca Ta’awwudz dalam Sholat

Pada Artikel sebelumnya  mengenai Menghadap Kiblat, Niat dan Berdiri dalam Sholat telah dijelaskan, kali ini  ini saya akan mencoba berbagi ilmu  tentang Takbiratul ihram dan Membaca do’a iftitah dalam Sholat sambungan dari artikel yang sebelumnya yaitu Menghadap Kiblat, Niat dan Berdiri dalam Sholat :

4.   Takbiratul ihram
Takbiratul ihram merupakan batas awal dari ibadah shalat. Dari ‘Ali bin Abu Thalib r.a., sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Kunci shalat adalah bersuci dan tahrim shalat adalah takbir, sedangkan tahlil shalat adalah taslim.” (HR. Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim dan Tirmidzi)
Tirmidzi telah meshahihkan hadits ini dan dia berkata : “Hadits ini adalah yang paling shahih dan paling hasan yang dibahas pada pembahasan ini.”

Nabi saw. bersabda :“Tahrimnya shalat adalah takbir.”Jumhur ulama berargumentasi bahwa permulaan shalat adalah dengan takbir, bukan dengan dzikir lainnya.
Menurut Malik, Ahmad dan kebanyakan para salaf, cara mengucapkan takbiratul ihram mesti dengan lafazh allahu akbar, karena al pada lafadz takbir adalah lil’ahdi (karena sudah diketahui). Yang diketahuinya adalah takbir yang telah dinukil oleh umat yang sekarang dari yang dahulu, dari Nabi saw., bahwa beliau mengucapkan takbiratul ihram pada setiap shalat dan tidak mengucapkan yang lain.
Dari Rifa’ah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda :“Allah tidak akan menerima shalat seseorang, sehingga kesucian itu terletak pada tempatnya, kemudian menghadap ke kiblat dan mengucapkan allaahu akbar.” (Abu Dawud)
Cara pengucapan kalimat takbir allaahu akbar dilakukan sambil mengangkat kedua tangan (telapak tangan menghadap ke depan) hingga betulan dada/sejajar dengan pundak.
Dari Wa’il bin Hajar, bahwa ia melihat cara Nabi saw. mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir (HR. Ahmad, Baihaqi dan Abu Dawud)
Pada riwayat lain disebutkan caranya : “Beliau bertakbir, kemudian mengangkat tangannya.” Pendapat tersebut berdasarkan hadits : Dari Abu Qilabah, sesungguhnya dia melihat Malik bin Huwairits apabila dia shalat, dia bertakbir, kemudian mengangkat kedua tangannya (Al-Hadits). Pada hadits tersebut dia menceritakan bahwa Rasulullah saw. biasa melakukan demikian.
Telah berkata Ibnu ‘Umar :“Jika Rasulullah saw. beridiri hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga berbetulan dengan kedua bahunya, lalu beliau bertakbir.” (HR. Muslim I : 66, Bukhari I : 180)
Setelah mengangkat tangan, kemudian tangan itu disimpan di dada (antra susu dan pusar) dengan tangan kanan di atas tangan kiri, pergelangan tangan kanan menutup pergelangan tangan kiri atau dengan cara tangan kanan menggenggam hasta tangan kiri.
Wa’il berkata :“Saya melihat Nabi saw. mengangkat kedua tangan saat shalat, kemudian takbir, lalu beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.” (HR. Muslim I : 171, Bukhari I : 180)
Dari Wa’il bin Hajar, ia berkata :“Saya shalat beserta Rasulullah saw., lalu beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan dia telah menshahihkannya)
Thawus berkata :“Ternyata Rasulullah saw. meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dengan menguatkan keduanya di atas dadanya pada waktu shalat.” (HR. Abu Dawud)
Dari Qabishah bin Halb, dari bapaknya, ia berkata :“Saya melihat Nabi saw. berpaling ke kanan dan ke kirinya dan saya melihat beliau meletakkan ini (kedua tangannya) di atas dadanya.” (HR. Ahmad)
Dalam riwayat lain disebutkan :
Dari Abu Hurairah : “Keadaan Rasulullah saw mengangkat tangan (waktu takbir), jari-jarinya tegak ke atas.” (HR. An-Nasa’i II : 124, At-Tirmidzi : 240)
“Keadaan (Rasulullah saw.)mengangkat kedua tangan dengan menegakkan jari-jemari serta menghadapkannya ke kiblat.” (Ibnu Al-Qayyim, Zaadul Ma’ad I : 202)
Cara pandangan waktu ibadah shalat kita tujukan ke tempat sujud, tidak boleh memutar-mutar pandangan.
Rasulullah saw. bersabda :“Bila shalat, janganlah kalian memutar-mutar pandangan, karena Allah menghadapkan pandangan-Nya pada wajah hamba-Nya waktu shalat selama ia tidak memutar-mutar pandangan.” (HR. At-Tirmidzi, Hakim, Sifat Shalat Nabi : 47)
Dalam riwayat Abu Dawud diterangkan :
“Selama Allah menghadap kepada hamba-Nya dalam shalat selama ia tidak memutar-mutar pandangan.Apabila ia memutar pandangan, Allah akan berpaling darinya.” (HR. Abu Dawud : 909)
Bahkan dalam Hadits Al-Baihaqi disebutkan apabila Rasul shalatl, beliau menundukkan kepada dan mengarahkan pandangan ke tempat sujud. (Sifat Shalat Nabi : 45) Untuk memungkinkan kita khusyu’ dalam shalat, hilangkan sesuatu yang akan mengganggu kekhusyu’an itu, seperti gambar-gambar atau yang lainnya.
Rasulullah bersabda :“Tidak pantas di dalam rumah terdapat sesuatu yang bisa mengganggu shalat.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, Sifat Shalat nabi : 46)
Kalau berjama’ah, usahakan dengan cara memakai pakaian yang tidak berwarna-warni dan bergambar sehingga dapat mengganggu kekhusyu’an. Rasulullah pernah shalat memakai wol dan bergambar dan terlihat sekilas olehnya. Setelah selesai shalat beliau bersabda :“Berikanlah bajuku ini kepada Abu Jahm dan untukku baju polosnya, karena bajuku tadi telah mengganggu shalatku.” (HR. Bukhari I : 183, Muslim I : 224)

5.   Membaca do’a iftitah
Membaca do’a iftitah dalam shalat pada raka’at pertama diucapkan sebelum membaca Al-Fatihah :

5.1. Cara do’a iftitah pertama :
Allaahumma baa’id bainii wa baina khathayaaya kamaa baa’atta bainal masyriqi wal maghrib, allaahumma naqqinii min khathaayaaya kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas, allaahummaghsil khathayaaya bil maa’i wats-tsalji wal barad.
“Ya Tuhanku, jauhkanlah antaraku dan antara dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat.Ya Tuhanku, bersihkanlah dosa-dosaku bagaikan baju putih yang dibersihkan dari kotoran. Ya Tuhanku, cucilah dosa-dosaku dengan air, salju dan embun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5.2. Cara do’a iftitah kedua :
Wajjahtu wajhiya lil ladzi fatharas samaawaati wal ardha haniifam muslimaw wa maa ana minal musyrikin, inna shalaati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil’aalamiin, laa syarika lahu wa bi dzaalika umirtu wa ana awwalul muslimin. Allahumma antal maliku laa ilaaha illaa anta, subhaanaka wa bi hamdika anta rabbii wa ana ‘abduk, zhalamtu nafsii wa’ taraftu bi dzambii faghfir lii dzambii jamii ‘an innahu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta, wahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdii li ahsanihaa illaa anta, washrif ‘anni sayyi ‘ahaa laa yashrifu’ ‘anni sayyi ‘ahaa illaa anta, labbaika wa sa’daik, wal khairu kulluhu fii yadaik, wasy syarru laisa alaik, wal mahdii man hadait, wa ana bika wa ilaik, laa manja’a wa laa malja’a minka illaa ilaik, tabaarakta wa ta’aalait, astaghfiruka wa atuubu ilaik.

“Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang membuat langit dan bumi dengan lurus dan menyerah dan aku bukanlah tergolong orang-orang yang menyekutukan (Dia).Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata untuk Allah, Dzat yang mengatur semesta alam.Tiada sekutu bagi-Nya dan untuk itulah aku diperintah dan aku adalah termasuk orang yang pertama menyerah (kepada-Nya).Ya Tuhanku, Engkau adalah raja tiada tuhan melainkan Engkau, Mahasuci Engkau dan dengan Memuji-Mu, Engkau adalah Tuhan yang mengatur aku. Aku adalah hambu-Mu, aku telah menzhalimi diriku dan (kini) aku mengakui akan dosaku.
Oleh karena itu, ampunilah dosaku seluruhnya karena sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa selain Engkau dan bimbinglah aku kepada akhlaq yang teramat baik karena tidak ada yang bisa membimbing ke arah yang teramat baik selain Engkau dan palingkanlah adriku akhlaq yang jelek dariku selain Engkau. Kusambut panggilan-Mu dan demi kebahagiaan (dari)-Mu kebaikan itu semuanya berada di tangan-Mu dan kejelekan itu sama sekali bukan kembali kepada-Mu. Orang yang bisa memimpin adalah orang yang memang telah Engkau pimpin. Aku dengan-Mu dan kepada-Mu, tidak ada tempat keselamatan dan tempat kembali dari (adzab)-Mu  melainkan kepada-Mu. Mahasuci Engkau dan Mahatinggi, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban, Ahmad dan Syafi’i)

5.3. Cara do’a iftitah ketiga :
Subhaanakallaahumma wa bi hamdika wa tabaarakasmuka wa ta’aalaa jadduka wa laa ilaaha ghairuk.
“Mahasuci Engkau, ya Tuhanku, (aku) tetap memuji-Mu. Mahasuci nama-Mu dan Mahaagung keagungan-Mu, tiada tuhan yang layak diibadahi melainkan Engkau.” (HR. Ibnu Majah dan Nasa’i)

5.4. Cara do’a iftitah keempat :
Dilain riwayat, bacaan di atas ada tambahan :
Laa ilaaha illaallaah (3x) allaahu akbar (3x) (HR. Abu Dawud dan Thahawi)

5.5. Cara do’a iftitah kelima :
Allaahu akbar kabiiraa, wal hamdu lillaahi katsiraa, wa subhaanallaahi bukrataw wa ashiilaa.
“Mahabesar Allah dengan sebesar-besarnya.Segala puji bagi Allah dengan pujian yang sebanyak-banyaknya.Mahasuci Allah pada waktu pagi dan sore.”
Do’a iftitah ini diucapkan oleh salah seorang sahabat. Maka tatkala Rasulullah saw. Mendengarnya, beliau bersabda :
“Sungguh aku kagum kepada laki-laki ini. Baginya dibukakan pintu-pintu (barakah dari) langit.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)

5.6. Cara do’a iftitah keenam :
Wal hamdu lillaahi hamdan katsiran thayiibam mubaarakan fiih.
“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak lagi baik dan diberkati-Nya.”
Do’a ini diucapkan oleh salah seorang sahabat. Ketika Rasulullah saw. Mendengar, beliau bersabda :“Sungguh aku melihat dua belas malaikat yang berlomba untuk mengangkatnya, siapa di antara mereka itu yang dapat mengangkatnya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)

5.7. Cara do’a iftitah ketujuh :
Allahumma rabba jabraa’iila wa miikaa’iila wa israafiila faathiras samaawaati wal ardhi, ‘aalimal ghaibi wasy syahaadah, anta tahkumu baina ‘ibaadika fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuun, ihinii limkhtalafa fiihi minal haqqi bi idznik, innaka tahdii man tasyaa’u ilaa shiraathim mustaqiim.
“Ya Tuhanku, Than Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi yang menghukumi perkara yang ghaib dan alam nyata, Engkau menghukumi antara hamba-hamba-Mu tentang sesuatu yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah daku jalan yang benar dengan idzin-Mu karena sesuatu yang diperselisihkan itu.Engkau menunjukkan siapa saja yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)

5.8. Cara do’a iftitah kedelapan :
Allaahu akbar (10x), alhamdu lillaah (10x), subhaanallaah (10x), laa ilaaha illaallaah (10x), astaghfirullaah 10x), allaahummaghfir lii wahdinii warzuqnii wa ‘aafinii (10x), allaahumma innii a’uudzu bika minadh dhayyiiqi yaumal hisaab (10).
“Mahabesar Allah (10x).Segala puji bagi Allah (10x).Mahasuci Allah (10x).Tiada tuhan yang layak diibadahi melainkan Allah (10x).Aku mohon pengampunan kepada Allah (10x). Ya Tuhanku, ampunilah aku dan pimpinlah aku dan berilah aku rizki dan peliharalak aku (10x). Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri dengan-Mu dari kesempitan pada hari hisab nanti (10x).” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud dan Thabrani)

5.9. Cara do’a iftitah kesembilan :
Allahu akbar (3x), dzul malakuuti wal jabaruuti wal kibriyaa’i wal ‘azhamah.
“Mahabesar Allah (3x), Dzat yang memiliki kerajaan ini, yang memiliki segala kekuasaan, kebesaran dan keagungan.” (HR. Ath-Thayalisi dan Abu Dawud)

6.   Membaca ta’awwudz
Sebelum membaca Al-Fatihah kita diperintahkan membaca ta’awwudz, sebagaimana firman Allah :
“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl : 98)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi saw., sesungguhnya beliau apabila berdiri untuk shalat, beliau membaca do’a iftitah, kemudian membaca : “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dari permainan gangguannya, serta ludahnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Telah berkata Ibnu Al-Mundzir, telah datang dari Nabi (keterangan) bahwa ia membaca “a’uudzu billaahi minsysyaithaanir rajiim” sebelum Fatihah.

Telah berkata Al-Aswad :“Saya melihat ‘Umar ketika memulai (do’a) shalatnya ia membaca : ‘Mahasuci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu, Mahaagung nama-Mu, luhur keagungan-Mu. Tiada tuhan selain Engkau, kemudian membaca ta’awwudz’.” (HR. Ad-Daruquthni, Nailu Al-Authar II : 220)
Atau :

“Aku mohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Mengetahui dari setan yang dirajam.”(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)

Cara membaca ta’awudz (dibaca ta’udz) hanya disyari’atkan pada raka’at pertama dengan menganggap bahwa bacaan pada shalat adalah bacaan yang satu dan disunnahkan dengan pelan, menurut kebanyakan ahli ilmu. Dalam Kitab Ad-Dinul Khalish disebutkan, para ulama telah sepakat bahwa tidak dilaksanakan (ta’awudz) kecuali pada raka’at pertama berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa : Nabi saw. Apabila bergerak (bangun) untuk raka’at kedua, beliau memulai dengan bacaan (Al-Fatihah) dan beliau tidak diam. (HR. Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar